sintungtelu.blogspot.co.id
- Kali ini
saya akan melanjutkan tulisan status di facebook, instagram dan twitter yaitu
mengenai Upacara Nahunan, yang mana
kali ini Upacara Nahunan dilakukan
oleh keluarga kami yang berada di Desa Kasali Baru Kec. Banama Tinggang Kab.
Pulang Pisau Prov. Kalimantan Tengah tepatnya daerah Kahayan, sebenaranya saat
upacara Nahunan berlangsung saya sendiri belum berada di desa dan masih dalam
perjalan, hal ini yang membuat sedikit sedih/galau karena tidak sempat melihat
langsung prosesi ritual upacara Nahunan
dengan kata lain untuk mendokumentasi pun tidak sempat, bingung dong mau kasih
foto apa nih, tapi ya sudah lah jangan disesali lebih baik kita menuju
pembahasan tentang Nahunan.
Keberagaman salah satu ciri khas yang
dimiliki oleh Bangsa Indonesia, tradisi, adat dan peninggalan ajaran leluhur
membawa ciri khas tersendiri disetiap daerah seluruh Nusantara ini,
terkhususnya suku Dayak di Kalimantan terkenal juga dengan ritual-ritual yang
masih kental upacaranya yang sakral, pelaku Ritual ini adalah dari umat Hindu
Kaharingan (Hinka) sendiri, yang masih berpegang teguh pada ajaran Ranying
Hatalla Langit yang turun temurun dilakukan oleh leluhur sampai generasi
sekarang.
Dalam hal ini Nahunan merupakan salah satu dari upacara keagaman Hinka, Nahunan sendiri merupakan Upacara Khas
dari Hinka dalam hal pemberian nama untuk seorang Bayi, kalau mencari persamaan
dengan Agama yang Non Hinka, seperti Kristen dikenal dengan Pembastisan dan kalau untuk Umat Islam
disebut Tasmiyah.
Ajaran dalam Hinka tentang tata cara upacara Nahuhan atau pemberian nama bagi seorang
bayi ini berpedoman pada firman Ranying Hatalla Langit yang dilakukan oleh Raja
Uju Hakanduang bagi bayi Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak
Bulau Janjulen Karangan.
Sebagaimana telah difirmankan Ranying Hatalla
Langit (Panaturan, Pasal 53:Ayat 1) berfirman kepada Raja Uju Hakanduang dia saat mereka melaksanakan Upacara pemberian
nama bagi bayi Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut, perelatan yang
disiapkan, adalah: satu batang pohon sawang, satu batang rotan, dan rotan ini
panjangnya kurang lebih tiga depa, bagian ujungnya dibuatkan patung berbentuk
wujud manusia, satu buah tombak rabayang, ketiga barang tesebut disatukan atau
di ikat menjadi satu dengan menempatkan pula dibagian pangkalnya, yaitu: satu
rumpun uru lewu, satu batang uru sambelum, satu batang uru tuntung, satu rumpun
lagi uru kajalumpung; untuk pengikat kesemua itu dicari serat tengang bulau
sangkalemu. Dan banyak lagi sarana yang harus dipersiapkan dan juga biasanya ada
hewan kurban sebagai wujud syukur keluarga telah melaksanakan ritual Nahunan
yang nanti sebagai lauk pauk disantap oleh orang banyak.
Dalam upacara Nahunan terakhir adalah dimana seorang ayah akan membawa pohon
Sawang pada sore hari keluar menuju halaman rumah langsung menanamnya dibagian
kanan arah keluar pintu rumah. Disitu Bawi Putir Santang langsung membawa Roh
Sawang Tahunan bayi menuju Bukit Tunjung Nyahu di Batang Danum Banyahu Bulau,
Guhung Mangkilat Hintan. Sawang Tahunan dari si bayi, hidup disana ditempati
oleh Manuk Rimbun Bulau, yaitu Roh dari Tabuni (ari-ari) si bayi tadi dan di
bukit Tunjung Nyahu, nama Sawang Tahunan tersebut disebut Sawang Tuntung Puser.
Tujuan dari Upacara Nahunan bukan hanya sebagai sarana untuk pemberian nama kepada
bayi, Nahunan juga untuk membayar
jasa bidan yang sudah membantu proses persalinan hingga bayi dapat lahir dalam
keadaan selamat dan sehat. Tujuan ini pula tidak lepas dari kaitan dengan
ritual yang lainnya, pemberian nama ini ambil contoh pengukuhan atau registrasi
kartu Handphone, kartu Handphone mempunyai kode telepon atau nomor telepon
masing-masing sehingga salah satu kerabat ingin menghubung kita akan lebih
mudah. Begitu juga dalam hal pemberian nama ini ketika kita dalam keadaan
sakit, lagi nyangiang, atau meminta doa, pasti nama kita ditanya, “namanya
siapa ?”, agar dalam hal kita memanjat doa atau meminta penyembuhan tidak salah
alamat atau salah sambung.
Dengan adanya pemberian nama selain bisa
dikenal oleh masyarakat, juga bisa dikenal oleh, para Leluhur, Sahur Parapah, Antang
Patahu, dan para Dewa menisfestasi Ranying Hatalla Langit. Masyarakat dayak
yang masih menganut agama Helu/Hinka, hingga kini masih mempertahankan dan
tetap untuk melestarikan peninggalan leluhur sebagai asset berharga yang
dimiliki oleh Suku Dayak Hinka, karena Hinka mengajarkan bahwa hidup ini tidak
jauh yang namanya proses, tidak ada yang instan, semua butuh proses, hidup
butuh proses, mati butuh proses, dan kembali menyatu kepada Sang Penciptapun
kita memerlukan proses, sehingga teori dan praktik sejalan dan teriring. (RAI)
No comments:
Post a Comment