Saturday, July 8, 2017

Upacara Nahunan Hindu Kaharingan


sintungtelu.blogspot.co.id - Kali ini saya akan melanjutkan tulisan status di facebook, instagram dan twitter yaitu mengenai Upacara Nahunan, yang mana kali ini Upacara Nahunan dilakukan oleh keluarga kami yang berada di Desa Kasali Baru Kec. Banama Tinggang Kab. Pulang Pisau Prov. Kalimantan Tengah tepatnya daerah Kahayan, sebenaranya saat upacara Nahunan berlangsung saya sendiri belum berada di desa dan masih dalam perjalan, hal ini yang membuat sedikit sedih/galau karena tidak sempat melihat langsung prosesi ritual upacara Nahunan dengan kata lain untuk mendokumentasi pun tidak sempat, bingung dong mau kasih foto apa nih, tapi ya sudah lah jangan disesali lebih baik kita menuju pembahasan tentang Nahunan.

Keberagaman salah satu ciri khas yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, tradisi, adat dan peninggalan ajaran leluhur membawa ciri khas tersendiri disetiap daerah seluruh Nusantara ini, terkhususnya suku Dayak di Kalimantan terkenal juga dengan ritual-ritual yang masih kental upacaranya yang sakral, pelaku Ritual ini adalah dari umat Hindu Kaharingan (Hinka) sendiri, yang masih berpegang teguh pada ajaran Ranying Hatalla Langit yang turun temurun dilakukan oleh leluhur sampai generasi sekarang.

Dalam hal ini Nahunan merupakan salah satu dari upacara keagaman Hinka, Nahunan sendiri merupakan Upacara Khas dari Hinka dalam hal pemberian nama untuk seorang Bayi, kalau mencari persamaan dengan Agama yang Non Hinka, seperti Kristen dikenal dengan Pembastisan dan kalau untuk Umat Islam disebut Tasmiyah.

Ajaran dalam Hinka tentang tata cara upacara Nahuhan atau pemberian nama bagi seorang bayi ini berpedoman pada firman Ranying Hatalla Langit yang dilakukan oleh Raja Uju Hakanduang bagi bayi Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan.

Sebagaimana telah difirmankan Ranying Hatalla Langit (Panaturan, Pasal 53:Ayat 1) berfirman kepada Raja Uju Hakanduang  dia saat mereka melaksanakan Upacara pemberian nama bagi bayi Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut, perelatan yang disiapkan, adalah: satu batang pohon sawang, satu batang rotan, dan rotan ini panjangnya kurang lebih tiga depa, bagian ujungnya dibuatkan patung berbentuk wujud manusia, satu buah tombak rabayang, ketiga barang tesebut disatukan atau di ikat menjadi satu dengan menempatkan pula dibagian pangkalnya, yaitu: satu rumpun uru lewu, satu batang uru sambelum, satu batang uru tuntung, satu rumpun lagi uru kajalumpung; untuk pengikat kesemua itu dicari serat tengang bulau sangkalemu. Dan banyak lagi sarana yang harus dipersiapkan dan juga biasanya ada hewan kurban sebagai wujud syukur keluarga telah melaksanakan ritual Nahunan yang nanti sebagai lauk pauk disantap oleh orang banyak.

Dalam upacara Nahunan terakhir adalah dimana seorang ayah akan membawa pohon Sawang pada sore hari keluar menuju halaman rumah langsung menanamnya dibagian kanan arah keluar pintu rumah. Disitu Bawi Putir Santang langsung membawa Roh Sawang Tahunan bayi menuju Bukit Tunjung Nyahu di Batang Danum Banyahu Bulau, Guhung Mangkilat Hintan. Sawang Tahunan dari si bayi, hidup disana ditempati oleh Manuk Rimbun Bulau, yaitu Roh dari Tabuni (ari-ari) si bayi tadi dan di bukit Tunjung Nyahu, nama Sawang Tahunan tersebut disebut Sawang Tuntung Puser.

Tujuan dari Upacara Nahunan bukan hanya sebagai sarana untuk pemberian nama kepada bayi, Nahunan juga untuk membayar jasa bidan yang sudah membantu proses persalinan hingga bayi dapat lahir dalam keadaan selamat dan sehat. Tujuan ini pula tidak lepas dari kaitan dengan ritual yang lainnya, pemberian nama ini ambil contoh pengukuhan atau registrasi kartu Handphone, kartu Handphone mempunyai kode telepon atau nomor telepon masing-masing sehingga salah satu kerabat ingin menghubung kita akan lebih mudah. Begitu juga dalam hal pemberian nama ini ketika kita dalam keadaan sakit, lagi nyangiang, atau meminta doa, pasti nama kita ditanya, “namanya siapa ?”, agar dalam hal kita memanjat doa atau meminta penyembuhan tidak salah alamat atau salah sambung.


Dengan adanya pemberian nama selain bisa dikenal oleh masyarakat, juga bisa dikenal oleh, para Leluhur, Sahur Parapah, Antang Patahu, dan para Dewa menisfestasi Ranying Hatalla Langit. Masyarakat dayak yang masih menganut agama Helu/Hinka, hingga kini masih mempertahankan dan tetap untuk melestarikan peninggalan leluhur sebagai asset berharga yang dimiliki oleh Suku Dayak Hinka, karena Hinka mengajarkan bahwa hidup ini tidak jauh yang namanya proses, tidak ada yang instan, semua butuh proses, hidup butuh proses, mati butuh proses, dan kembali menyatu kepada Sang Penciptapun kita memerlukan proses, sehingga teori dan praktik sejalan dan teriring. (RAI)

No comments:

Post a Comment