BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Kesulitan belajar pada umumnya dari kesulitan
belajar spesifik khususnya pada anak merupakan masalah, baik di sekolah maupun
di lingkungan sosialnya. Bila tidak ditangani dapat merupakan masalah seumur
hidupnya. Salah satu dari kesulitan belajar spesifik yang mendapat perhatian
adalah kesulitan membaca atau disleksia, karena kemampun membaca merupakan
dasar atau fondasi untuk memperoleh kepandaian skolastik lainnya (Rapin, 1993).
Frank Wood (1993) bahkan menyatakan dalam penelitian epidemiologisnya,
kesulitan membaca merupakan lebih dari 90% dari kelainan non-psikiatris pada
anak – anak sekolah. Pada anak-anak disebut disleksia perkembangan karena
terjadinya pada masa perkembangan anak.
Disleksia perkembangan merupakan salah satu gangguan
perkembangan fungsi otak yang terjadi sepanjang rentang hidup (developmental disorders across the life span).
Tidak jarang anak-anak yang mengalami disleksia terutama yang ringan dianggap
atau “dicap” sebagai anak yang bodoh, malas, kurang berusaha, ceroboh, sehingga
timbul rasa rendah diri, kurang percaya diri dan mengalami gangguan emosional
sekunder. Padahal tidak jarang penyandang disleksia mempunyai intelingensi yang
tinggi seperti antara lain Nelson Rockefeller, Albert Einstein, Churchiil yang
disebut Gifted dyslexics.
Negara-negara yang sudah berkembang membenuk
asosiasi disleksia dan “dyslexia centres” untuk esesmen dan penanganan penyandang
desleksia. Di Singapura misalnya didirikan DAS-Dyslexia
Association Singapore Learning Centre (The Straits Time, 28 march 1994).
Di Indonesia kesulitan membaca atau disleksia pada
umumnya sudah dikenal, namun jenis atau tipe disleksia masih kurang dikenal
sehingga program penanganan yang diberikan kurang terstruktur, komprehensif,
dan mendalam yang menyebabkan hasil kurang optimal.
B.
Rumusan
Masalah
Rumusan masalah yang
ada di makalah ini adalah :
1. Apa
itu disleksia ?
2. Apa-apa
saja penyebab disleksia ?
3. Apa
gejala disleksia ?
C.
Tujuan
Pembahasan
Tujuan pembahasan adalah :
1. Agar
Mahasiswa lebih mengenal tentang disleksia.
2. Agar
Mahasiswa tau penyebab disleksia.
3. Agar
Mahasiswa tau gejala disleksia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Disleksia (Dyslexia)
Dyslexia berasal
dari kata yunani (Greek), “dys” berarti kesulitan, “lexis” berarti kata-kata.
Disleksia merupakan kesulitan belajar yang primer berkaitan dengan masalah
bahasa tulisan seperti membaca, menulis, mengeja, dan pada beberapa kasus
kesulitan dengan angka, karena adanya kelainan neurologis yang kompleks -
kelainan struktur dan fungsi otak -. (Abigail Masrhall, 2004)
Dapat
pula merupakan kelainan bawaan (constitutional
in origin), keturunan (genetic).
Bila salah satu dari kembar identik mengalami disleksia, maka 85 hingga 100
persen kemungkinan anak kembar yang lain mengalami disleksia pula. Bila salah
satu orang tua mengalami disleksia, sekitar 25-50% dari anaknya dapat mengalami
disleksia pula.
Definisi
Disleksia Menurut Critchley (1970) adalah :
“Kesulitan belajar membaca, menulis dan mengeja
(disorografi), tanpa ada gangguan sensorik perifer, intelegensi yang rendah,
lingkungan yang kurang menunjang (di sekolah, di rumah), problema emosional
primer atau kurang motivasi” (Njiokiktjien, 1988, 1989; Pennington, 1991).
Disleksia
disebut juga sebagai kesulitan belajar spesifik. Dikatakan spesifik karena
kesulitan dalam masalah belajar tertentu, bukan lambat belajar umum yang
mengalami kesulitan dalam seluruh spektrum
belajar. Gejala yang spesifik berupa kesulitan dalam membaca, mengajar
dan bahasa tulisan. Gejala penyerta lain dapat berupa kesulitan menghitung
(diskalkulia), menulis angka (notational
skills/music), fungsi koordinasi/ketrampilan motorik (dispraksi). Namun
yang utama adalah anak harus menguasai bahasa tulisan walaupun bahasa tutur
dapat pula terganggu (language processing
are).
Anak
yang mengalami kesulitan membaca akan mengalami kesulitan dalam kehidupan di
lingkungannya, terutama di sekolah yang pembelajarannya menggunakan buku (book based).
Disleksia
disebut sebagai “The Hidden Disability”
(ketidak mampuan yang tersembunyi), karena pada kasus disleksia yang ringan
sering tidak dikenal, dianggap “anak lamban atau malas membaca” atau “anak
ceroboh/kurang teliti dalam tulisannya, seperti adanya penghilangan,
penambahan, atau penggantian huruf tertentu”.
B.
Proses
Belajar Membaca
Anak dapat
belajar secara spontan dari lingkungannya, sedangkan untuk belajar membaca dan
menulis anak perlu diajar atau di bimbing. Membaca merupakan proses yang
kompleks yang melibatkan kedua belahan otak (hemisfer).
Persyaratan khusus untuk dapat memebaca
adalah:
1. Tidak
ada gangguan penglihatan dan pendengaran yang berat.
2. Pemahan
bahasa tutur/verbal yang cukup.
3. Pergerakan
bola mata untuk mengikuti barisan huruf tulisan (scanning letters in the
correct order) cukup baik. Untuk tulisan penutur bahasa Indo-Eropa termasuk Indonesia di butuhkan gerakan mata
dari sisi kiri ke kanan, sedangkan untuk tulisan sinistral (tulisan dari kana
ke kiri seperti bahasa Arab), dibutuhkan gerakan bola mata dari sisi kanan ke
kiri (Kusumoputro, 1995, William Feldman, 2002).
4. Tidak
ada gangguan motorik atau koordinasi motorik untuk berbicara (kelumpuhan atau
praksis mulut).
5. Perlu
faktor-faktor seperti lingkungan pendidikan anak yang menunjang, dan harus ada
perhatian dan motivasi dari anak untuk membca (Njiokiktjien,1986).
C.
Penyebab
dan Patogenesis
Patogenesis
disleksia terletak pada struktur dan fungsi otak, pada umumnya pada belahan
otak (hemisfer) kiri, sebagian pada belahan otak kanan, korus kolosum, dan
dalam kepustakaan disebutkan adanya gangguan dalam fungsi antar belahan otak
(interhemisferik). Penyebab gangguan fungsi belahan otak kiri dikaitkan dengan
gangguan perkembangan morfologis atau kerusakan otak karena kurang oksigen pada
saat atau setelah lahir (iskemia atau asfiksia perinatal). (Geswind yang kutip
oleh Njiokiktjien, 1989). Juga beberapa peneliti mengaitkan dengan faktor
keturunan (genetik, constitutional origin) dan hormon seks pada
laki-laki.(Njiokiktjien, 1989).
Penyebab disleksia itu bisa
dikelompokkan menjadi tiga kategori factor utama, yaitu faktor pendidikan,
psikologis, dan biologis, namun penyebab utamanya adalah otak (Dardjowidjojo,
2008). Faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Faktor
Pendidikan
Disleksia disebabkan
oleh metode yang
digunakan dalam mengajarkan membaca, terutama
metode “whole-word” yang
mengajarkan kata-kata sebagai
satu kesatuan daripada mengajarkan
kata sebagai bentuk bunyi dari
suatu tulisan. Contoh, Jika anak
dalam tahap belum bisa membedakan huruf-huruf yang mirip seperti b dan d, maka
cara pengajaran yang
perlu dilakukan adalah
mempelajari hurufnya satu
persatu. Misalnya fokuskan pengajaran kali ini pada huruf b. Tulislah
huruf b dalam ukuran yang besar kemudian mintalah anak untuk mengucapkan
sembari tangannya mengikuti alur huruf b atau membuat kode tertentu oleh
tangan. Anak dilatih terus menerus sampai ia bisa menguasainya, setelah itu
mulailah beranjak ke huruf d. Mereka berpikir bahwa metode fonetik,
yang mengajarkan anak
nama-nama huruf berdasarkan
bunyinya, memberikan fondasi yang baik untuk membaca. Mereka mengklaim
bahwa anak yang belajar membaca dengan metode fonetik akan lebih mudah dalam
mempelajari kata-kata baru. Dan untuk mengenali kata-kata asing secara tertulis
sebagaimana mereka mengeja tulisan kata itu setelah mendengar pelafalannya.
Sementara ahli lain meyakini bahwa
dengan mengkombinasikan pendekatan “kata utuh” dan
metode fonetik merupakan
cara paling efektif
dalam pengajaran membaca. Dengan
menggunakan kedua metode tersebut, selain mengenali kata sebagai satu kesatuan
(unit) anak pun akan belajar cara menerapkan aturan fonetik pada katakata baru.
2. Faktor
Psikologis
Beberapa periset memasukkan disleksia ke
dalam gangguan psikologis atau emosional sebagai akibat dari tindakan kurang
disiplin, tidak memiliki orangtua, sering pindah sekolah, kurangnya kerja sama
dengan guru, atau penyebab lain. Memang, anak yang kurang
ceria, sedang marah-marah,
atau memiliki hubungan
yang kurang baik dengan orangtua atau dengan anak lain
kemungkinan memiliki masalah belajar. Stress mungkin juga
mengakibatkan disleksia, namun
yang jelas stress
dapat memperburuk masalah
belajar.
3. Faktor
Biologis
Sejumlah
peneliti meyakini bahwa
disleksia merupakan akibat
dari penyimpangan fungsi bagian-bagian
tertentu dari otak.
Diyakini bahwa area-area tertentu dari
otak anak disleksia
perkembangannya lebih lambat
dibanding anak-anak normal.
Di samping itu
kematangan otaknya pun
lambat. Teori memang
dulu banyak diperdebatkan, namun
bukti-bukti mutakhir mengindikasikan bahwa teori itu memiliki validitas. Teori
lainnya menyatakan bahwa
disleksia disebabkan oleh
gangguan pada struktur otak.
Beberapa peneliti menerima bahwa teori
ini masih diyakini sampai saat diadakan penelitian penelaahan otak manusia
disleksia yang meninggal. Penelaahan otak ini telah menyingkap karakteristik
perkembangan otak. Dari situ
diperoleh gambaran bahwa
gangguan struktur otak
mungkin mengakibatkan sejumlah
kasus penting disleksia berat. Faktor genetik juga diperkirakan turut berperan.
Beberapa penelitian mengungkapkan
bahwa 50 persen
atau lebih anak
disleksia memiliki riwayat orangtua yang disleksia atau gangguan lain
yang berkaitan. Ternyata, lebih banyak
anak laki-laki yang
disleksia daripada anak perempuan.
4. Kecelakaan
Gangguan
kemampuan membaca atau
mengenali huruf serta
simbol huruf akibat kerusakan
saraf otak atau selaput otak,
sehingga otak kiri
korteks oksipital (bagian
belakang) terganggu. Kerusakan ini disebabkan infeksi atau kecelakaan. Karena
kerusakan ini, otak tidak berfungsi mengenali semua citra (image) yang
ditangkap indra penglihatan karena ada gangguan sambungan
otak kiri dan
kanan. Ada yang berpendapat gangguan
itu disebut disleksia,
ada juga yang
berpendapat gangguan itu disebut aleksia.
D.
Klasifikasi
Untuk
dapat belajar membaca, diperlukan persepsi visuospasial (bentuk huruf dan
arah), mengenal urutan (urutan huruf dan kata), dapat mentransfer urutan huruf
kedalam otak, mengingat kata-kata dilihat dan di dengar (memori visual dan
auditoris) dan mengintergrasikan tulisan yang di baca dengan bahasa tutur
(koneksi visual-auditoris), menggunakan bahasa tutur (sintaks, morfologi,
penemuan kata) dan semantik (Pemahaman bahasa).
Gangguan dalam proses tersebut
dapat menimbulakan disleksia. Pada anak dengan disleksia, hambatan utama adalah
membuat hubungan antara kelompok huruf yang dilihatnya dan kata yang dikenal
dengan bunyi yang didengarnya.
Klasifikasia jenis disleksia penting
untuk penanganannya. Diagnosis yang kurang tepat dapat menyebabkan kegagalan
dalam penanganan atau penanganan yang tidak optimal. Banyak klasifikasi
disleksia, salah satu adlah yang diajukan berdasarkan makanisme serebral
(Njiokiktjien, 1986, 1988, 1989).
1. Disleksia
dan gangguan visual
Gangguan fungsi otak bagian belakang
dapt menimbulkan gangguan dalam presepsi visual (pengenalan visual tidak
optimal,membuat kesalahan dalam membaca dan mengeja visual), defisit dalam
memori visual. Adanya rotasi dalam bentuk huruf-huruf atau angka yang hampir
mirip bentuknya, bayangan cermin (b-d, p-q, 5-2, 3-E) atau huruf, angak terbaik
(inversion) seperti m-w, n-u,6-9. Hal ini terlihat nyata dalam tulisannya.
Gangguan dalam urutan dapt berupa urutan
huruf dalam kata sebagian atau seluruhnya seperti bapak -> bakpa,
ibu->ubi, atau terbaliknya suku-kata
dalam kata seperti mata->tama. Anak dengan gangguan memori ringan
atau mengulang (preseverasi) huruf (gembira->gembbira) atau suku kata
seperti baru->baruru, angin->angingin. Analisis dan sintesis visual
seperti menyusun puzzel sulit. Kemampuan aktivitas auditoris seperti mengingat
cerita baik. Disleksia jenis ini disebut disleksia diseidetis atau disleksia
visual (Helmer Myklebust). Kelainan ini jarang, hanya didapat pada 5% kasus
disleksia (Gobin,1980 yang dikutip Njiokoktjien,1986).
Perlu diingat bahwa problema
visuo-spesial dapat terjadi pada anak-anak prasekolah atau prmulaan kelas satu
SD, dalam hal ini masih di anggap normal.
2. Disleksia
dan Gangguan Bahasa
Dalam dua dekade terakhir disleksia
tidak dikaitkandengan gangguan visual tetapi dikaitkan dengan gangguan
linguistik(bahasa).Disleksia ini di sebut disleksia verbal atau
linguistik.Berapa penulis menyebutkan prevalensi yang cukup besar yaitu
50%-80%.Limapuluh persen dari jenis ini mengalami keterlambatan berbicara
(disfasia perkembangan)pada massabelita atau prasekolah
(Njiokiktjien,1986)Legein dan Bouma (1987)menyebut kelainan ini didapat kan
padapada sekitar 4% dari semua anak laki-laki dan 1% pada anak perempuan.Gejala
berupa kesulitan dalam diskriminasi atau persepsi auditoris (disleksia
disfonemis) seperti p-t,b-g,td,t-k; kesulitan kesulitan mengejar secara
auditoris,kesulitan menyebut atau menemukan kata atau kalimat,urutan auditoris
yang kacau (sekolah-sekolah).Halini berdampak pada imbla atau membuat karangan.
3. Disleksia
dengan Diskoneksi visual audituris
Jenis disleksia ini disebut sebagai
disleksia auditoris (Myklebust).Ada gangguan dalam koneksi vissual auditoris
(grafem-grafem)anak membaca lambat.Dalam hal ini bahasa verbal dan persepsi
visoalnya baik.Apa yang dilihat tidak dapat dinyatakan dalam bunyi
bahasa.redapa gangguan dalam”crossmodal (visual auditory)memory retrieval”
Bakker,et al,(1987) membagi disleksia dalam 2
tipologi,yaitu:L-Type dyslexia (linguistic) dan P-Type Dylexia (Perceptive).
Pada L-Type dyslexia anak membaca relatif cepat
namun dengan membuat kesalahan seperti penghilangan (addition) atau penggantian
huruf (substitution) dan kesalahan mutilasi
kata lainnya.
Pada P-Type dyslexia anak cendrung membaca lambat
dan membuat kesalahan seperti frakmentasi (membaca terputus putus)dan mengulang
ulang (repetisi).
Jarang terdapat satu jenis disleksia yang murni
(“pure dyslexia”),kebanyakan gabungan dari berbagai jenis dialeksia,dimana
terdapat gangguan dalam masalah wicara bahasa,membaca,bahasa tulisan.
Diagnosis
disleksia ditegak kan bila anak telah berusia 7 tahun atau akhir kelas 1 SD
atau setelahnya.Beberapa penulis menemukan prediktor disleksia pada usia
prasekolah yaitu bila ada riwayat disleksia dalam keluarga atau adanya
keterlambatan perkembangan wicara bahasa.Kendala diaknusis di indonesia adalah
karena belum adanya tes membaca yang baku yang sesuai dgn usia kronologis
anak.Cuntoh anak kelas satu SD mengalamikesulitan membaca kata kata yang
terdiri dari konsonan ganda awal,tengah atau akhir,seperti
nyanyi,angguk,gunung.
Beberapa fakor yang dapat menyebabkan
anak mengalami keterlambatan perkembangan membaca atau kesulitan membaca,yaitu:
a. Anak
yang lahir prematur dengan berat lahir rendah dapat mengalami kerusakan otak
sehingga mengalami kesulitan belajar atau gangguan pemusatan perhatian.
b. Anak
dengan kelainan fisik seperti gangguan penglihatan,gangguan pendengaran atau
anak dengan cerebral palsy (c.p)akan mengalami kesulitan belajar membaca.
c. Anak
kurang memahami perintah karena lingkungan di rumah atau di sekolah menggunakan
beberapa bahasa (bi-atau multilingual).Namun perlu disadari bahwa anak dengan
lingkungan tersebut dapat pula mengalami disleksia.
d. Anak
yang sering pindah sekolah karna tugas orang tuanya yang pindah-pindah kota
dengan sistem mengajar membaca yang berbeda.
e. Anak
yang serimg apsen karena sakit atau ada masalah dalam keluarga.
f. Anak
yang pandai dan berbakat tidak jarang merasa bosan atau tidak tertarik dengan
pembelajaran bahasa sehinga kurang konsentrasi dan banyak membuat kesalahan.
E.
Gejala
Disleksia
Anak disleksia
memiliki perbedaan gejala
satu sama lain.
Satu-satunya sifat yang sama
pada mereka adalah
kemampuan membacanya yang
sangat rendah dilihat dari
usia dan inteligensi
yang dimilikinya. Setiap
anak memiliki kecenderungan
disleksia, dan ada
pula anak yang
tidak disleksia tetapi
mempunyai pengalaaman kesulitan
membaca.
Anak disleksia
yang kidal dapat
menggunakan kedua belah
tangan, misalnya saat menulis,
namun mereka sering kali membaca dari kanan ke kiri. Adapun gejala disleksia
ini antara lain:
1. Ragu-ragu
dan lambat dalam berbicara
2. Kesulitan memilih kata
yang tepat untuk
menyampaikan maksud yang diucapkannya Bermasalah
dalam menentukan arah
(atas – bawah) dan waktu (sebelum – sesudah, sekarang-kemarin)
3. Kesalahan
mengeja yang dilakukan terus-menerus, seperti misalnya kata ”gajah”
ducapkan menjadi ”gagah”. kata
”ibu” ducapkan menjadi
”ubi”, kata ”pipa” menjadi ”papi”
4. Membaca
kata demi kata secara lamban dan intonasi naik turun
5. Membalikkan huruf,
kata, dan angka
yang mirip, misalnya
b dengan p, u
dengan n, kata kuda dengan daku, palu dengan lupa, 2 – 5, 6 – 9
6. Kesulitan
dalam menulis, misalnya menuliskan namanya sendiri “Rosa” menjadi Ro5a,
menuliskan kata “Adik”
menjadi 4dik (huruf
S dianggap sama dengan angka 5, huruf A dianggap sama
dengan angka 4).
F.
Pemeriksaan
Sebelum
dilakukan pemeriksaan diperlukan riwaya lengkap
yaitu riwayat kehamilan ibu, saat kelahiran, setelah bayi lahir, riwayat
perkembangan anak, adanya disleksia dalam keluarga, dan lingkungan anak.
Pemeriksaan
klinis umum melibatkan spesialis dari berbagai disiplin ilmu seperti dokter
spesialis anak , dokter spesialis mata ( menyingkirkan gangguan penglihatan)
dan THT ( menyingkirkan
gangguan pendengaran ), psikiater ( menyingkirkan
adanya gangguan jiwa, emosional primer), psikolog ( untuk evaluasi inteligensi
anak) dan spesialis saraf ( neurolog, untuk menyingkirkan adanya kelainan
struktur dan fungsi otak yang nyata).
Pemeriksaan
neurologis lengkap meliputi neurologi perkembangan, ada tidaknya kelainan
neurologis nyata ( kelumpuhan / paresis pada otot – otot wicara ), neurologis
samar ( minor neurogical signs ), dan pemeriksaan fungsi luhur otak
( bigber cerebral function 0. Pemeriksaan fungsi luhur untuk menentukan
jenis disleksia meliputi : perhatian ( atensi ), domonasi tangan dan mata,
membedakan kanan-kiri, arah, fungsi visual-spasial, praksis , pemahaman dan
curah bahasa, penelusuran visual huruf ( visual scanning and tracking),
memori visual dan auditoris, membaca (
kelancaran membaca, kesulitan mengeja, membuat banyak keselahan), menulis (
bahasa tulisan ). Di indonesia belum ada tes kemampuan membaca yang baku
sehingga sulit untuk menentukan berat-ringannya disleksia.
G.
Penanganan
Ada
beberapa pendekatan remidial unuk disleksia. Program remidiasi lebih ditekankan
pada kekuatan kemampuan anak, apakah pada kemampuan persepsi visual atau
persepsi auditorisnya. Pada anak dengan kemampuan auditoris yang kuat dan lemah dalam kemampuan auditoris
dilatih membaca visual dengan teknik kata-utuh / whole-word tecniques ( Dr.
Boder ). Keberhasilan penanganan disleksia bergantung pada ketepatan diagnosis
dan pemberian program remediasi yang tepat.
H.
Upaya
Penyembuhan
Di Amerika Serikat (AS), telah
dikembangan suatu metode untuk membantu penyandang disleksia, yang dikembangkan
oleh Dore Achievement Centers. (www.halalguide.info/content/view/720/70/)
Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa
anak disleksia memiliki kekurangan aktivitas
pada otak di
bagian kanan yang
dinamakan serebelum, yang hanya mengandung 50
persen saraf otak.
Dengan metode ini,
anak distimuli di
bagian otak tesebut, dengan
sejumlah pembelajaran.
Pelatihan dapat
diberikan kepada anak
disleksia, dengan cara
menyisihkan waktu untuk mengajarinya
membaca. Tetapi, pelatihan ini tidak
boleh dipaksakan apabila anak sedang dalam kondisi tidak sehat sehinga
rentan terhadap emosi negatif. Pelatihan dilakukan secara bertahap, yakni
hendaknya bersikap positif dan memberikan apresiasi ketika anak bisa membaca
dengan benar. Kemudian, diajarkan membaca pada anak dan membantunya untuk
menghayati setiap pelafalan kata dari mulutnya. Dalam pelatihan ini dapat
digunakan buku cerita dan mulai dibaca terlebih dulu dengan suara keras untuk
menarik minat anak. Pembacaan cerita tersebut dilakukan menjelang anak tidur di
malam hari, untuk membantu pengendapan verbal di memorinya, dan membuat
aktivitas ini semenarik mungkin.
Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan
dalam upaya penyembuhan sebagai berikut (www.halalguide.info/content/view/720/70/)
1.
Educational approach dan phonic lessons. Apabila orangtua
dan guru mulai mencurigai bahwa
anak mengidap disleksia,
hendaknya segera berkonsultasi dengan psikolog atau
klinik/ sekolah pengajaran
khusus (special education)
untuk mendapatkan informasi
mengenai cara penangan
yang sebaiknya dilakukan untuk
membantu anak dalam
meningkatkan perkembangan
membacanya. Anak disleksia
tidak selamanya tidak
mampu membaca dan menulis.
Apabila mendapat penanganan
yang tepat dan
intensif,anak disleksia akan dapat
membaca sama seperti
anak normal lainnya.
Bahkan bisa ber-IQ lebih tinggi dari anak mormal.
2.
Metode multi-sensory. Dengan metode
yang terintegrasi, anak
akan diajarkan mengeja tidak
hanya berdasarkan apa yang didengarnya lalu diucapkan kembali, tetapi juga
memanfaatkan kemampuan memori visual (penglihatan) serta taktil (sentuhan). Cara
ini dilakukan untuk
memungkinkan terjadinya asosiasi
antara pendengaran,
penglihatan dan sentuhan
sehingga mempermudah otak
bekerja mengingat kembali huruf-huruf.
3.
Pengobatan terbaik
untuk mengenali kata
adalah pengajaran langsung
yang memasukkan pendekatan multisensori. Pengobatan jenis ini terdiri
dari mengajar dengan bunyi-bunyian dengan isyarat yang bervariasi, biasanya secara terpisah
dan, bila memungkinkan,sebagai bagian dari program membaca. Pengajaran tidak
langsung untuk mengenali
kata juga sangat
membantu. Pengajaran ini biasanya
terdiri dari latihan
untuk meningkatkan pelafalan
kata atau pengertian membaca.
Anak-anak diajarkan bagaimana
memproses suarasuara dengan
menggabungkan suara-suara ke
dalam bentuk kata-kata,
dengan memisahkan kata-kata ke
dalam bagian-bagian, dan
dengan mengenali letak suara pada kata.
4.
Pengobatan tidak
langsung, selain untuk mengenali kata,
kemungkinan digunakan tetapi tidak
dianjurkan. Pengobatan tidak
langsung bisa termasuk penggunaan lensa diwarnai yang
membuat kata-kata dan huruf-huruf bisa dibaca dengan lebih mudah, latihan
gerakan mata, atau latihan penglihatan perseptual. Manfaat pengobatan
tidak langsung tidak
terbukti dan bisa
menghasilkan harapan tidak realistis dan menhambat pengajaran yang
dibutuhkan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Disleksia merupakan kesulitan belajar yang primer
berkaitan dengan masalah bahasa tulisan seperti membaca, menulis, mengeja, dan
pada beberapa kasus kesulitan dengan angka, karena adanya kelainan neurologis
yang kompleks - kelainan struktur dan fungsi otak.
Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam upaya
penyembuhan Penyakit Disleksia
ini, Educational approach dan phonic lessons, Metode multi-sensory, Pendekatan multisensori, dan Pengobatan tidak
langsung.
B.
Saran
Dengan melalui makalah ini, kami mengharapkan khususnya semua mahasiswa dapat
memahami serta mengetahui apa itu Disleksia, Patogenesis disleksia, Klasifikasia
jenis disleksia, gejala Disleksia, Pemeriksaan, Penanganan, Serta proses penyembuhan
Disleksia.
Oleh
sebab itu kita sebagai Mahasiswa
PGSD haruslah dapat mengetahui Disleksia dan cara penangannya, Setelah membaca
makalah ini kami harap kembali bisa membantu para pembaca dalam menghadapi
peserta didik yg mengalami permasalahan dalam membaca dan menulis (Disleksia).
Daftar Pustaka
Sidiarto, L.D. (2010) perkembangan otak dan kesulitan belajar pada
anak.
Jakarta:
Universitas Indonesia (UI-Press)
Lidwana, Soeisniwati,
2012, Disleksia Berpengaruh pada
Kemampuan Membaca
dan Menulis.
Vol 4, No 3 11-16
No comments:
Post a Comment