Saturday, August 26, 2017

Makalah Disleksia

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Kesulitan belajar pada umumnya dari kesulitan belajar spesifik khususnya pada anak merupakan masalah, baik di sekolah maupun di lingkungan sosialnya. Bila tidak ditangani dapat merupakan masalah seumur hidupnya. Salah satu dari kesulitan belajar spesifik yang mendapat perhatian adalah kesulitan membaca atau disleksia, karena kemampun membaca merupakan dasar atau fondasi untuk memperoleh kepandaian skolastik lainnya (Rapin, 1993). Frank Wood (1993) bahkan menyatakan dalam penelitian epidemiologisnya, kesulitan membaca merupakan lebih dari 90% dari kelainan non-psikiatris pada anak – anak sekolah. Pada anak-anak disebut disleksia perkembangan karena terjadinya pada masa perkembangan anak.
Disleksia perkembangan merupakan salah satu gangguan perkembangan fungsi otak yang terjadi sepanjang rentang hidup (developmental disorders across the life span). Tidak jarang anak-anak yang mengalami disleksia terutama yang ringan dianggap atau “dicap” sebagai anak yang bodoh, malas, kurang berusaha, ceroboh, sehingga timbul rasa rendah diri, kurang percaya diri dan mengalami gangguan emosional sekunder. Padahal tidak jarang penyandang disleksia mempunyai intelingensi yang tinggi seperti antara lain Nelson Rockefeller, Albert Einstein, Churchiil yang disebut Gifted dyslexics.
Negara-negara yang sudah berkembang membenuk asosiasi disleksia dan “dyslexia centres”  untuk esesmen dan penanganan penyandang desleksia. Di Singapura misalnya didirikan DAS-Dyslexia Association Singapore Learning Centre (The Straits Time, 28 march 1994).
Di Indonesia kesulitan membaca atau disleksia pada umumnya sudah dikenal, namun jenis atau tipe disleksia masih kurang dikenal sehingga program penanganan yang diberikan kurang terstruktur, komprehensif, dan mendalam yang menyebabkan hasil kurang optimal.

B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang ada di makalah ini adalah :
1.      Apa itu disleksia ?
2.      Apa-apa saja penyebab disleksia ?
3.      Apa gejala disleksia ?

C.    Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan adalah :
1.      Agar Mahasiswa lebih mengenal tentang disleksia.
2.      Agar Mahasiswa tau penyebab disleksia.
3.      Agar Mahasiswa tau gejala disleksia.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Disleksia (Dyslexia)
Dyslexia berasal dari kata yunani (Greek), “dys” berarti kesulitan, “lexis” berarti kata-kata. Disleksia merupakan kesulitan belajar yang primer berkaitan dengan masalah bahasa tulisan seperti membaca, menulis, mengeja, dan pada beberapa kasus kesulitan dengan angka, karena adanya kelainan neurologis yang kompleks - kelainan struktur dan fungsi otak -. (Abigail Masrhall, 2004)
Dapat pula merupakan kelainan bawaan (constitutional in origin), keturunan (genetic). Bila salah satu dari kembar identik mengalami disleksia, maka 85 hingga 100 persen kemungkinan anak kembar yang lain mengalami disleksia pula. Bila salah satu orang tua mengalami disleksia, sekitar 25-50% dari anaknya dapat mengalami disleksia pula.

Definisi Disleksia Menurut Critchley (1970) adalah :
“Kesulitan belajar membaca, menulis dan mengeja (disorografi), tanpa ada gangguan sensorik perifer, intelegensi yang rendah, lingkungan yang kurang menunjang (di sekolah, di rumah), problema emosional primer atau kurang motivasi” (Njiokiktjien, 1988, 1989; Pennington, 1991).
Disleksia disebut juga sebagai kesulitan belajar spesifik. Dikatakan spesifik karena kesulitan dalam masalah belajar tertentu, bukan lambat belajar umum yang mengalami kesulitan dalam seluruh spektrum  belajar. Gejala yang spesifik berupa kesulitan dalam membaca, mengajar dan bahasa tulisan. Gejala penyerta lain dapat berupa kesulitan menghitung (diskalkulia), menulis angka (notational skills/music), fungsi koordinasi/ketrampilan motorik (dispraksi). Namun yang utama adalah anak harus menguasai bahasa tulisan walaupun bahasa tutur dapat pula terganggu (language processing are).
Anak yang mengalami kesulitan membaca akan mengalami kesulitan dalam kehidupan di lingkungannya, terutama di sekolah yang pembelajarannya menggunakan buku (book based).
Disleksia disebut sebagai “The Hidden Disability” (ketidak mampuan yang tersembunyi), karena pada kasus disleksia yang ringan sering tidak dikenal, dianggap “anak lamban atau malas membaca” atau “anak ceroboh/kurang teliti dalam tulisannya, seperti adanya penghilangan, penambahan, atau penggantian huruf tertentu”.

B.     Proses Belajar Membaca
Anak dapat belajar secara spontan dari lingkungannya, sedangkan untuk belajar membaca dan menulis anak perlu diajar atau di bimbing. Membaca merupakan proses yang kompleks yang melibatkan kedua belahan otak (hemisfer).
Persyaratan khusus untuk dapat memebaca adalah:
1.      Tidak ada gangguan penglihatan dan pendengaran yang berat.
2.      Pemahan bahasa tutur/verbal yang cukup.
3.      Pergerakan bola mata untuk mengikuti barisan huruf tulisan (scanning letters in the correct order) cukup baik. Untuk tulisan penutur bahasa Indo-Eropa  termasuk Indonesia di butuhkan gerakan mata dari sisi kiri ke kanan, sedangkan untuk tulisan sinistral (tulisan dari kana ke kiri seperti bahasa Arab), dibutuhkan gerakan bola mata dari sisi kanan ke kiri (Kusumoputro, 1995, William Feldman, 2002).
4.      Tidak ada gangguan motorik atau koordinasi motorik untuk berbicara (kelumpuhan atau praksis mulut).
5.      Perlu faktor-faktor seperti lingkungan pendidikan anak yang menunjang, dan harus ada perhatian dan motivasi dari anak untuk membca (Njiokiktjien,1986).
C.    Penyebab dan Patogenesis
Patogenesis disleksia terletak pada struktur dan fungsi otak, pada umumnya pada belahan otak (hemisfer) kiri, sebagian pada belahan otak kanan, korus kolosum, dan dalam kepustakaan disebutkan adanya gangguan dalam fungsi antar belahan otak (interhemisferik). Penyebab gangguan fungsi belahan otak kiri dikaitkan dengan gangguan perkembangan morfologis atau kerusakan otak karena kurang oksigen pada saat atau setelah lahir (iskemia atau asfiksia perinatal). (Geswind yang kutip oleh Njiokiktjien, 1989). Juga beberapa peneliti mengaitkan dengan faktor keturunan (genetik, constitutional origin) dan hormon seks pada laki-laki.(Njiokiktjien, 1989).
Penyebab disleksia itu bisa dikelompokkan menjadi tiga kategori factor utama, yaitu faktor pendidikan, psikologis, dan biologis, namun penyebab utamanya adalah otak (Dardjowidjojo, 2008). Faktor-faktor tersebut antara lain:
1.      Faktor Pendidikan
Disleksia  disebabkan  oleh  metode  yang  digunakan  dalam  mengajarkan membaca,  terutama  metode  “whole-word”  yang  mengajarkan  kata-kata  sebagai  satu kesatuan daripada mengajarkan  kata sebagai bentuk  bunyi  dari  suatu  tulisan. Contoh, Jika anak dalam tahap belum bisa membedakan huruf-huruf yang mirip seperti b dan d,  maka  cara  pengajaran  yang  perlu  dilakukan  adalah  mempelajari  hurufnya  satu  persatu. Misalnya fokuskan pengajaran kali ini pada huruf b. Tulislah huruf b dalam ukuran yang besar kemudian mintalah anak untuk mengucapkan sembari tangannya mengikuti alur huruf b atau membuat kode tertentu oleh tangan. Anak dilatih terus menerus sampai ia bisa menguasainya, setelah itu mulailah beranjak ke huruf d. Mereka berpikir bahwa metode  fonetik,  yang  mengajarkan  anak  nama-nama  huruf  berdasarkan  bunyinya, memberikan fondasi yang baik untuk membaca. Mereka mengklaim bahwa anak yang belajar membaca dengan metode fonetik akan lebih mudah dalam mempelajari kata-kata baru. Dan untuk mengenali kata-kata asing secara tertulis sebagaimana mereka mengeja tulisan kata itu setelah mendengar pelafalannya. Sementara  ahli  lain  meyakini  bahwa  dengan  mengkombinasikan  pendekatan “kata  utuh” dan  metode  fonetik  merupakan  cara  paling  efektif  dalam  pengajaran membaca. Dengan menggunakan kedua metode tersebut, selain mengenali kata sebagai satu kesatuan (unit) anak pun akan belajar cara menerapkan aturan fonetik pada katakata baru.
2.      Faktor Psikologis
Beberapa periset memasukkan disleksia ke dalam gangguan psikologis atau emosional sebagai akibat dari tindakan kurang disiplin, tidak memiliki orangtua, sering pindah sekolah, kurangnya kerja sama dengan guru, atau penyebab lain. Memang, anak yang  kurang  ceria,  sedang  marah-marah,  atau  memiliki  hubungan  yang  kurang  baik dengan orangtua atau dengan anak lain kemungkinan memiliki masalah belajar. Stress mungkin  juga  mengakibatkan  disleksia,  namun  yang  jelas  stress  dapat  memperburuk masalah belajar.
3.      Faktor Biologis
Sejumlah  peneliti  meyakini  bahwa  disleksia  merupakan  akibat  dari penyimpangan  fungsi  bagian-bagian  tertentu  dari  otak.  Diyakini  bahwa  area-area tertentu  dari  otak  anak  disleksia  perkembangannya  lebih  lambat  dibanding  anak-anak normal. Di  samping  itu  kematangan  otaknya  pun  lambat.  Teori  memang  dulu  banyak diperdebatkan, namun bukti-bukti mutakhir mengindikasikan bahwa teori itu memiliki validitas.  Teori  lainnya  menyatakan  bahwa  disleksia  disebabkan  oleh  gangguan  pada struktur otak. Beberapa  peneliti menerima bahwa teori ini masih diyakini sampai saat diadakan penelitian penelaahan otak manusia disleksia yang meninggal. Penelaahan otak ini telah menyingkap karakteristik perkembangan otak. Dari situ  diperoleh  gambaran  bahwa  gangguan  struktur  otak  mungkin  mengakibatkan sejumlah kasus penting disleksia berat. Faktor genetik juga diperkirakan turut berperan. Beberapa  penelitian  mengungkapkan  bahwa  50  persen  atau  lebih  anak  disleksia memiliki riwayat orangtua yang disleksia atau gangguan lain yang berkaitan. Ternyata,  lebih  banyak  anak  laki-laki  yang  disleksia  daripada  anak perempuan.
4.      Kecelakaan
Gangguan  kemampuan  membaca  atau  mengenali  huruf  serta  simbol  huruf akibat  kerusakan  saraf  otak  atau  selaput  otak,  sehingga  otak  kiri  korteks  oksipital (bagian belakang) terganggu. Kerusakan ini disebabkan infeksi atau kecelakaan. Karena kerusakan ini, otak tidak berfungsi mengenali semua citra (image) yang ditangkap indra penglihatan  karena  ada  gangguan  sambungan  otak  kiri  dan  kanan.  Ada  yang berpendapat  gangguan  itu  disebut  disleksia,  ada  juga  yang  berpendapat  gangguan  itu disebut aleksia.
D.    Klasifikasi
Untuk dapat belajar membaca, diperlukan persepsi visuospasial (bentuk huruf dan arah), mengenal urutan (urutan huruf dan kata), dapat mentransfer urutan huruf kedalam otak, mengingat kata-kata dilihat dan di dengar (memori visual dan auditoris) dan mengintergrasikan tulisan yang di baca dengan bahasa tutur (koneksi visual-auditoris), menggunakan bahasa tutur (sintaks, morfologi, penemuan kata) dan semantik (Pemahaman bahasa).
Gangguan dalam proses tersebut dapat menimbulakan disleksia. Pada anak dengan disleksia, hambatan utama adalah membuat hubungan antara kelompok huruf yang dilihatnya dan kata yang dikenal dengan bunyi yang didengarnya.
Klasifikasia jenis disleksia penting untuk penanganannya. Diagnosis yang kurang tepat dapat menyebabkan kegagalan dalam penanganan atau penanganan yang tidak optimal. Banyak klasifikasi disleksia, salah satu adlah yang diajukan berdasarkan makanisme serebral (Njiokiktjien, 1986, 1988, 1989).
1.      Disleksia dan gangguan visual
Gangguan fungsi otak bagian belakang dapt menimbulkan gangguan dalam presepsi visual (pengenalan visual tidak optimal,membuat kesalahan dalam membaca dan mengeja visual), defisit dalam memori visual. Adanya rotasi dalam bentuk huruf-huruf atau angka yang hampir mirip bentuknya, bayangan cermin (b-d, p-q, 5-2, 3-E) atau huruf, angak terbaik (inversion) seperti m-w, n-u,6-9. Hal ini terlihat nyata dalam tulisannya.
Gangguan dalam urutan dapt berupa urutan huruf dalam kata sebagian atau seluruhnya seperti bapak -> bakpa, ibu->ubi, atau terbaliknya suku-kata  dalam kata seperti mata->tama. Anak dengan gangguan memori ringan atau mengulang (preseverasi) huruf (gembira->gembbira) atau suku kata seperti baru->baruru, angin->angingin. Analisis dan sintesis visual seperti menyusun puzzel sulit. Kemampuan aktivitas auditoris seperti mengingat cerita baik. Disleksia jenis ini disebut disleksia diseidetis atau disleksia visual (Helmer Myklebust). Kelainan ini jarang, hanya didapat pada 5% kasus disleksia (Gobin,1980 yang dikutip Njiokoktjien,1986).
Perlu diingat bahwa problema visuo-spesial dapat terjadi pada anak-anak prasekolah atau prmulaan kelas satu SD, dalam hal ini masih di anggap normal.



2.      Disleksia dan Gangguan Bahasa
Dalam dua dekade terakhir disleksia tidak dikaitkandengan gangguan visual tetapi dikaitkan dengan gangguan linguistik(bahasa).Disleksia ini di sebut disleksia verbal atau linguistik.Berapa penulis menyebutkan prevalensi yang cukup besar yaitu 50%-80%.Limapuluh persen dari jenis ini mengalami keterlambatan berbicara (disfasia perkembangan)pada massabelita atau prasekolah (Njiokiktjien,1986)Legein dan Bouma (1987)menyebut kelainan ini didapat kan padapada sekitar 4% dari semua anak laki-laki dan 1% pada anak perempuan.Gejala berupa kesulitan dalam diskriminasi atau persepsi auditoris (disleksia disfonemis) seperti p-t,b-g,td,t-k; kesulitan kesulitan mengejar secara auditoris,kesulitan menyebut atau menemukan kata atau kalimat,urutan auditoris yang kacau (sekolah-sekolah).Halini berdampak pada imbla atau membuat karangan.

3.      Disleksia dengan Diskoneksi visual audituris
Jenis disleksia ini disebut sebagai disleksia auditoris (Myklebust).Ada gangguan dalam koneksi vissual auditoris (grafem-grafem)anak membaca lambat.Dalam hal ini bahasa verbal dan persepsi visoalnya baik.Apa yang dilihat tidak dapat dinyatakan dalam bunyi bahasa.redapa gangguan dalam”crossmodal (visual auditory)memory retrieval”
Bakker,et al,(1987) membagi disleksia dalam 2 tipologi,yaitu:L-Type dyslexia (linguistic) dan P-Type Dylexia (Perceptive).
Pada L-Type dyslexia anak membaca relatif cepat namun dengan membuat kesalahan seperti penghilangan (addition) atau penggantian huruf (substitution) dan kesalahan mutilasi  kata lainnya.
Pada P-Type dyslexia anak cendrung membaca lambat dan membuat kesalahan seperti frakmentasi (membaca terputus putus)dan mengulang ulang (repetisi).
Jarang terdapat satu jenis disleksia yang murni (“pure dyslexia”),kebanyakan gabungan dari berbagai jenis dialeksia,dimana terdapat gangguan dalam masalah wicara bahasa,membaca,bahasa tulisan.
Diagnosis disleksia ditegak kan bila anak telah berusia 7 tahun atau akhir kelas 1 SD atau setelahnya.Beberapa penulis menemukan prediktor disleksia pada usia prasekolah yaitu bila ada riwayat disleksia dalam keluarga atau adanya keterlambatan perkembangan wicara bahasa.Kendala diaknusis di indonesia adalah karena belum adanya tes membaca yang baku yang sesuai dgn usia kronologis anak.Cuntoh anak kelas satu SD mengalamikesulitan membaca kata kata yang terdiri dari konsonan ganda awal,tengah atau akhir,seperti nyanyi,angguk,gunung.
Beberapa fakor yang dapat menyebabkan anak mengalami keterlambatan perkembangan membaca atau kesulitan membaca,yaitu:
a.       Anak yang lahir prematur dengan berat lahir rendah dapat mengalami kerusakan otak sehingga mengalami kesulitan belajar atau gangguan pemusatan perhatian.
b.      Anak dengan kelainan fisik seperti gangguan penglihatan,gangguan pendengaran atau anak dengan cerebral palsy (c.p)akan mengalami kesulitan belajar membaca.
c.       Anak kurang memahami perintah karena lingkungan di rumah atau di sekolah menggunakan beberapa bahasa (bi-atau multilingual).Namun perlu disadari bahwa anak dengan lingkungan tersebut dapat pula mengalami disleksia.
d.      Anak yang sering pindah sekolah karna tugas orang tuanya yang pindah-pindah kota dengan sistem mengajar membaca yang berbeda.
e.       Anak yang serimg apsen karena sakit atau ada masalah dalam keluarga.
f.       Anak yang pandai dan berbakat tidak jarang merasa bosan atau tidak tertarik dengan pembelajaran bahasa sehinga kurang konsentrasi dan banyak membuat kesalahan.

E.     Gejala Disleksia
Anak  disleksia  memiliki  perbedaan gejala satu  sama  lain.  Satu-satunya  sifat yang  sama  pada  mereka  adalah  kemampuan  membacanya  yang  sangat  rendah  dilihat dari  usia  dan  inteligensi  yang  dimilikinya.  Setiap  anak  memiliki kecenderungan disleksia,  dan  ada  pula  anak  yang  tidak  disleksia  tetapi  mempunyai  pengalaaman kesulitan membaca.
Anak  disleksia  yang  kidal  dapat  menggunakan  kedua  belah  tangan,  misalnya saat menulis, namun mereka sering kali membaca dari kanan ke kiri. Adapun gejala disleksia ini antara lain:
1.      Ragu-ragu dan lambat dalam berbicara
2.      Kesulitan  memilih kata  yang  tepat  untuk  menyampaikan  maksud  yang diucapkannya  Bermasalah  dalam  menentukan  arah  (atas – bawah)  dan  waktu (sebelum – sesudah, sekarang-kemarin)
3.      Kesalahan mengeja yang dilakukan terus-menerus, seperti misalnya kata ”gajah” ducapkan  menjadi  ”gagah”. kata  ”ibu”  ducapkan  menjadi  ”ubi”,   kata  ”pipa” menjadi ”papi”
4.      Membaca kata demi kata secara lamban dan intonasi naik turun
5.      Membalikkan  huruf,   kata,   dan  angka  yang  mirip,   misalnya  b  dengan  p,  u dengan n, kata kuda dengan daku, palu dengan lupa, 2 – 5, 6 – 9
6.      Kesulitan dalam menulis, misalnya menuliskan namanya sendiri “Rosa” menjadi  Ro5a,  menuliskan  kata  “Adik”  menjadi  4dik  (huruf  S  dianggap  sama dengan angka 5, huruf A dianggap sama dengan angka 4).


F.     Pemeriksaan
Sebelum dilakukan pemeriksaan diperlukan riwaya lengkap  yaitu riwayat kehamilan ibu, saat kelahiran, setelah bayi lahir, riwayat perkembangan anak, adanya disleksia dalam keluarga, dan lingkungan anak.
Pemeriksaan klinis umum melibatkan spesialis dari berbagai disiplin ilmu seperti dokter spesialis anak , dokter spesialis mata ( menyingkirkan gangguan penglihatan) dan THT ( menyingkirkan gangguan pendengaran ), psikiater ( menyingkirkan adanya gangguan jiwa, emosional primer), psikolog ( untuk evaluasi inteligensi anak) dan spesialis saraf ( neurolog, untuk menyingkirkan adanya kelainan struktur  dan fungsi otak yang nyata).
Pemeriksaan neurologis lengkap meliputi neurologi perkembangan, ada tidaknya kelainan neurologis nyata ( kelumpuhan / paresis pada otot – otot wicara ), neurologis samar ( minor neurogical signs ), dan pemeriksaan fungsi  luhur otak  ( bigber cerebral function 0. Pemeriksaan fungsi luhur untuk menentukan jenis disleksia meliputi : perhatian ( atensi ), domonasi tangan dan mata, membedakan kanan-kiri, arah, fungsi visual-spasial, praksis , pemahaman dan curah bahasa, penelusuran visual huruf ( visual scanning and tracking), memori  visual dan auditoris, membaca ( kelancaran membaca, kesulitan mengeja, membuat banyak keselahan), menulis ( bahasa tulisan ). Di indonesia belum ada tes kemampuan membaca yang baku sehingga sulit untuk menentukan berat-ringannya disleksia.


G.    Penanganan
Ada beberapa pendekatan remidial unuk disleksia. Program remidiasi lebih ditekankan pada kekuatan kemampuan anak, apakah pada kemampuan persepsi visual atau persepsi auditorisnya. Pada anak dengan kemampuan auditoris  yang kuat dan lemah dalam kemampuan auditoris dilatih membaca visual dengan teknik kata-utuh / whole-word tecniques ( Dr. Boder ). Keberhasilan penanganan disleksia bergantung pada ketepatan diagnosis dan pemberian program remediasi yang tepat.

H.    Upaya Penyembuhan
Di Amerika Serikat (AS), telah dikembangan suatu metode untuk membantu penyandang disleksia, yang dikembangkan oleh Dore Achievement Centers. (www.halalguide.info/content/view/720/70/)
Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa anak disleksia memiliki kekurangan aktivitas  pada  otak  di  bagian  kanan  yang  dinamakan  serebelum,  yang hanya mengandung  50  persen  saraf  otak.  Dengan  metode  ini,  anak  distimuli  di  bagian  otak tesebut, dengan sejumlah pembelajaran.
Pelatihan  dapat  diberikan  kepada  anak  disleksia,  dengan  cara  menyisihkan waktu  untuk  mengajarinya  membaca.  Tetapi, pelatihan  ini tidak  boleh dipaksakan apabila anak sedang dalam kondisi tidak sehat sehinga rentan terhadap emosi negatif. Pelatihan dilakukan secara bertahap, yakni hendaknya bersikap positif dan memberikan apresiasi ketika anak bisa membaca dengan benar. Kemudian, diajarkan membaca pada anak dan membantunya untuk menghayati setiap pelafalan kata dari mulutnya. Dalam pelatihan ini dapat digunakan buku cerita dan mulai dibaca terlebih dulu dengan suara keras untuk menarik minat anak. Pembacaan cerita tersebut dilakukan menjelang anak tidur di malam hari, untuk membantu pengendapan verbal di memorinya, dan membuat aktivitas ini semenarik mungkin.
Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam upaya penyembuhan sebagai berikut (www.halalguide.info/content/view/720/70/)
1.      Educational  approach dan phonic  lessons. Apabila  orangtua  dan  guru  mulai mencurigai  bahwa  anak  mengidap  disleksia,  hendaknya  segera  berkonsultasi dengan psikolog  atau  klinik/  sekolah  pengajaran  khusus (special  education) untuk  mendapatkan  informasi  mengenai  cara  penangan  yang  sebaiknya dilakukan  untuk  membantu  anak  dalam  meningkatkan  perkembangan membacanya.  Anak  disleksia  tidak  selamanya  tidak  mampu  membaca  dan menulis.  Apabila  mendapat  penanganan  yang  tepat  dan  intensif,anak  disleksia akan  dapat  membaca  sama  seperti  anak  normal  lainnya.  Bahkan  bisa  ber-IQ lebih tinggi dari anak mormal.
2.      Metode multi-sensory. Dengan  metode  yang  terintegrasi,  anak  akan  diajarkan mengeja tidak hanya berdasarkan apa yang didengarnya lalu diucapkan kembali, tetapi juga memanfaatkan kemampuan memori visual (penglihatan) serta  taktil (sentuhan).  Cara  ini  dilakukan  untuk  memungkinkan  terjadinya  asosiasi  antara pendengaran,  penglihatan  dan  sentuhan  sehingga  mempermudah  otak  bekerja mengingat kembali huruf-huruf.
3.      Pengobatan  terbaik  untuk  mengenali  kata  adalah  pengajaran  langsung  yang memasukkan pendekatan multisensori. Pengobatan jenis ini terdiri dari mengajar dengan bunyi-bunyian dengan isyarat  yang bervariasi, biasanya secara terpisah dan, bila memungkinkan,sebagai bagian dari program membaca. Pengajaran  tidak  langsung  untuk  mengenali  kata  juga  sangat  membantu. Pengajaran  ini  biasanya  terdiri  dari  latihan  untuk  meningkatkan  pelafalan  kata atau  pengertian  membaca.  Anak-anak  diajarkan  bagaimana  memproses  suarasuara  dengan  menggabungkan  suara-suara  ke  dalam  bentuk  kata-kata,  dengan memisahkan  kata-kata  ke  dalam  bagian-bagian,  dan  dengan  mengenali  letak suara pada kata.
4.      Pengobatan  tidak  langsung,  selain  untuk  mengenali  kata,  kemungkinan digunakan  tetapi  tidak  dianjurkan.  Pengobatan  tidak  langsung  bisa  termasuk penggunaan lensa diwarnai yang membuat kata-kata dan huruf-huruf bisa dibaca dengan lebih mudah, latihan gerakan mata, atau latihan penglihatan perseptual. Manfaat  pengobatan  tidak  langsung  tidak  terbukti  dan  bisa  menghasilkan harapan tidak realistis dan menhambat pengajaran yang dibutuhkan.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Disleksia merupakan kesulitan belajar yang primer berkaitan dengan masalah bahasa tulisan seperti membaca, menulis, mengeja, dan pada beberapa kasus kesulitan dengan angka, karena adanya kelainan neurologis yang kompleks - kelainan struktur dan fungsi otak.
Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam upaya penyembuhan Penyakit Disleksia ini, Educational  approach dan phonic  lessons, Metode multi-sensory, Pendekatan multisensori, dan Pengobatan  tidak  langsung.

B.     Saran
Dengan melalui makalah ini, kami mengharapkan khususnya semua mahasiswa dapat memahami serta mengetahui apa itu Disleksia, Patogenesis disleksia, Klasifikasia jenis disleksia, gejala Disleksia, Pemeriksaan, Penanganan, Serta proses penyembuhan Disleksia.
Oleh sebab itu kita sebagai Mahasiswa PGSD haruslah dapat mengetahui Disleksia dan cara penangannya, Setelah membaca makalah ini kami harap kembali bisa membantu para pembaca dalam menghadapi peserta didik yg mengalami permasalahan dalam membaca dan menulis (Disleksia).





Daftar Pustaka

Sidiarto, L.D. (2010) perkembangan otak dan kesulitan belajar pada anak.
Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press)
Lidwana, Soeisniwati, 2012, Disleksia Berpengaruh pada Kemampuan Membaca

dan Menulis. Vol 4, No 3 11-16

No comments:

Post a Comment